Selasa, 05 Juni 2012

LAPORAN PENDAHULUAN Epilepsi


.         Pendahuluan


Epilepsi merupakan penyakit tertua di dunia (2000 th SM) (Petrus Tjahyadi dikutif dari Harsono,Ed : 1996). Di Indonesia kasus epilepsi secara pasti tidak diketahui karena tidak ada data epidemiologi, namum hingga saat ini diperkirakan ada 900.000 sampai 1.800.000 kasus (Petrus Tjahyadi dikutif dari Harsono,ED : 1996).Penyakit epilepsi selain merupakan masalah kesehatan yang sangat rumit juga merupakan suatu penyakit yang menimbulkan dampak / stigma sosial yang sangat berat bagi penderita dan keluarganya. Adanya pemahaman yang salah tentang penyakit epilepsi yang dipandang sebagai penyakit kutukan merupakan suatu hal yang menyebabkab sulitnya mendeteksi jumlah kasus ini di masyarakat karena biasanya keluarga sering menyembunyikan keluarganya yang menderita penyakit ini.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan  dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
Pada dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak.
Masalah yang muncul adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam.

B.      Deskripsi Penyakit

Epilepsi terjadi akibat adanya kerusakan membran pada sel glia otak. Sel glia merupakan bagian dari sel otak yang multi fungsi. Salah satu fungsi penting dari sel glia bila dikaitkan dengan penyakit epilepsi ini adalah fungsi sel glia sebagai pensuplai nutrisi dan reservoar dari elektrolit seperti ion K, Ca dan Na. Ketidak seimbangan pada sel ini akan menyebabkan permasalahan pada sel syaraf. Proses epileptogenik akan terjadi bila ada pelepasan muatan paroksiman karena mekanisme intrinsik dari membran neuron yang menjaga kestabilan ambang lepas muatan terganggu sehingga bisa terjadi depolarisasi secara terus menerus yang selanjutnya menyebabkan timbulnya letupan potensial aksi (paroksismal depolarisasi shif).
Penyebab dan proses secara jelas terjadinya epileptogenik hingga saat ini belum begitu jelas. Namun sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya trauma kelahiran, infeksi, gangguan sirkulasi, gangguan metabolisme, tumor otak, trauma kepala dan penyakit-penyakit saat kehamilan (epilepsi simtomatis). Namun beberapa jenis epilepsi tidak diketahui dengan jelas penyebabnya dan diduga karena faktor genetik (epilepsi idiopatik). Proses sederhana terjadinya fokus epileptik dapat dilihat pada bagan di bawah.
KERUSAKAN JARINGAN


 

JARINGAN OTAK RUSAK / GANGGUAN METABOLISME

 

PENURUNAN FUNGSI RESERVOIR SEL GLIA



 

ION KALIUM TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT

 YANG TEPAT SAAT PEMBENTUKAN IMPULS

             


















 
                                 ION K TERKUMPUL PADA                        KRISIS MUATAN

                                         DINDING NEURON                                 LISTRIK



                                               
AKTIVITAS SARAF SPONTAN TAK TERKONTROL

Dari skema di atas dapat ditarik suatu analisa bahwa jika terjadi suatu gangguan polarisasi listrik pada otak akan menyebabkan efek terhadap aktivitas dari saraf secara spontan yang dimanifestasikan dengan adanya gerakan-gerakan yang abnormal pada organ-organ tubuh penderita. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan kontrol dan kesadaran sehingga dapat  menimbulkan dampak berupa kemungkinan trauma / cedera fisik bagi penderita yang sedang mengalami serangan.
Berdasarkan hasil EEG dan gejala yang ditemukan, epilepsi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu : (Kariasa,Md, FIK UI, 1997)
1.                  Kejang umum :
Kejang yang menunjukkan sinkronisasi keterlibatan semua bagian otak pada kedua hemisfer. Otak teraktivasi secara bersama tanpa awitan fokal, sinkron, tanpa didahului oleh prodormal dan aura. Yangdigolongkan dalam jenis ini adalah petit mall, grand mall, mioklonik dan atonik.
a.         Petit mall : muncul setelah usia 4 tahun, pasien kehilangan kesadaran sesaat seperti bengong tanpa disertai gerakan involunter yang aneh. Bila hal ini berlangsung terus dapat berakibat buruk pada alur belajar terutama anak-anak yang sedang belajar. Anak akan menjadi malu sehingga anak akan mengalami gangguan dalam prestasi belajar.
b.                  Grand mall / kejang tonik-klonik : yakni adanya serangan kejang ekstensi tonik-klonik bilateral ekstremitas. Kadang disertai dengan adanya inkontinensia urine atau feces, menggigit lidah, mulut berbusa dan kehilangan kesadaran yang mendadak yang diikuti gejala-gejala post iktal seperti nyeri otot, lemah dan letih, bingung serta tidur dalam waktu lama.

2.                  Kejang parsial
Kejang yang didahului dengan adanya  awitan fokal yang melibatkan satu bagian tertentu dari otak.
a.                          Kejang parsial sederhana : sering disebut epilepsi Jakson, dimana pada kelompok ini akan terjadi kejang secara involunter yang bersifat unilateral tanpa diikuti oleh adanya perburukan.
b.                          Kejang parsial kompleks : sering disebut dengan kejang lobus temporal, psikomotor atau otomatisme yang fokalnya sering berpusat pada lobus temporalis. Sering pada kejang parsial sering diikuti oleh gangguan kesadaran semacam gangguan proses pikir. Gejala dapat berupa halusinasi, mual dan berkeringat sebagai prodormal. Pasien yang sedang mengalami serangan ini sering menunjukkan perilaku bersifat agitatif dan kombatif.
Bila dikaitkan dengan kelompok usia yang terpapar, epilepsi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis (Harsono.ED.1996) :
1.                  Kelompok Usia 0 – 6 bulan
a.                  Kelainan intra uterin, yang menyebabkan gangguan migrasi dan diferensiasi sel neuron. Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh infeksi intra uterin.
b.                  Kelainan selama kehamilan misal asfeksia, dan perdarahan intra uterin yang didahului oleh kelainan maternal seperti : hipotensi, eklamsia, disproporsi sefalopelvik, kelainan plasenta, tali pusat menumbung atau belitan tali pusat pada leher.
c.                  Kelainan kongenital seperti kromosom abnormal, radiasi obat teratogenik, infeksi intra partum oleh toksoplasma, sitomegalo virus, rubela dan treponema.
d.                 Gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hipokalsemi, hiponatremia, dan defisiensi piridoksin.
e.                  Infeksi Susunan Saraf Pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan hidrosefalus pasca infeksi.

2.                  Kelompok 6 bulan – 3 tahun
Selain oleh penyebab yang sama dari kelompok di atas pada umur ini dapatjuga disebabkan oleh adanya kejang demam yang biasanya dimulai pada umur 6 bulan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah adanya cedera kepala.
3.                  Kelompok anak-anak sampai remaja
Dapat disebabkan oleh Infeksi virus, bakteri, parasit dan abses otak yang frekuensinya meningkat sampai 23%, setelah tindakan operasi.
4.                  Kelompok usia muda
            . Tersering karena cedera kepala, tumor otak dan infeksi.
5.                  Kelompok usia lanjur
Karena gangguan pembuluh darah otak, diikuti oleh trauma dan degenerasi cerebral.
Jika terjadi serentetan serangan epilepsi jenis grand mall tanpa diselingi dengan pemulihan status neurologi disebut dengan status epileptikus. Yang dijadikan patokan adalah kejang secara klinis atau pada EEG tampak adanya gambaran eksitasi abnormal selama 30 menit atau lebih. Hal ini akan berbahaya jika diikuti oleh adanya hipoksia jaringan otak, gagal pernafasan, hipertensi, peningkatan tekanan intra kranial. Keadaan ini membutuhkan perawatan yang intensif. Penurunan kesadaran dapat berakibat terjadinya ancaman berupa sumbatan jalan nafas. Kejadian yang terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap perkembangan psiko-sosial dari klien maupun keluarganya, berupa rasa malu, harga diri yang rendah serta penurunan terhadap gambaran diri. Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama bagi penderita yang masih dalam masa belajar.

C.                    Pengkajian
                               Pengkajian dilakukan secara komprehensif dengan berbagai metode pengkajian seperti anamnesa, observasi, pengukuran, dokumentasi dan pemeriksaan fisik. Metode pengkajian yang digunakan untuk mengoptimalkan hasil yang diperoleh meliputi beberapa cara diantaranya head to toe, teknik persistem, maupun berdasarkan atas kebutuhan dasar manusia.
1.                  Identitas klien dan penanggungjawab
Pengkajian yang dilakukan meliputi identitas klien dan penanggungjawabnya.

2.                  Keluhan Utama
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara
.
3.                  Riwayat Penyakit
Fokus pengkajian yang dilakukan adalah pada riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik. Ini dapat dimengerti karena riwayat kesehatan terutama berhubungan dengan kejang sangat membantu dalam menentukan diagnosa. Riwayat ini akan dirunjang dengan keadaan fisik klien saat ini. Pemeriksaan neurologi terutama berkaitan dengan serangan kejang harus lengkap karena temuan-temuan fokal sangat membantu dalam menentukan asal dari aktivitas kejang. Pada riwayat perlu dikaji faktor pencetus yang dapat diidentifikasikan hingga saat ini adalah : demam, cedera kepala, stroke, gangguan tidur, penggunaan obat, kelemahan fisik, hiperventilasi, dan stress emosional.
Deskripsispesifik dari kejang harus mencakup beberapa data penting meliputi :
a.      Awitan yakni serangan itu mendadak atau didahului oleh prodormal dan fase aura.
b.      Durasi kejang berapa lama dan berapa kali frekuensinya.
c.      Aktivitas motorik mencakup apakah ekstrimitas yang terkena sesisi atau bilateral, dimana mulainya dan bagaimana kemajuannya.
d.     Status kesadaran dan nilai kesadarannya. Apakah klien dapat dibangunkan selama atau setelah serangan ?
e.      Distrakbilitas, apakah klien dapat memberi respon terhadap lingkungan. Hal ini sangat penting untuk membedakan apakah yang terjadi pada klien benar epilepsi atau hanya reaksi konversi.
f.       Keadaan gigi. Apakah pada saat serangan gigi klien tertutup rapat atau terbuka.
g.      Aktivitas tubuh seperti inkontinensia, muntah, salivasi dan perdarahan dari mulut.
h.      Masalah yang dialami setelah serangan paralisis, kelemahan, baal atau semutan, disfagia, disfasia cedera komplikasi, periode post iktal atau lupa terhadap semua pristiwa yang baru saja terjadi.
i.        Faktor pencetus seperti stress emosional dan fisik.

4.                  Data Bio-psiko-sosial-spiritual
Data yang sudah dikaji sebelumnya dengan menggunakan berbagai metode yang valid selanjutnya dikelompokkan secara umum menjadi data subyektif dan obyektif.
a.                   Data Subyektif : adanya keluhan tentang faktor pencetus, prodormal(pusing, lemas, ngantuk, halusinasi dll). Merasakan adanya seperti tersambar petir (fase aural), mengeluh adanya gangguan proses pikir, waham, badan nyeri, letih dan bingung. Klien merasa malu, tidak berguna, rendah diri dan takut.
b.                  Data Obyektif : adanya gerakan tonik, klonik, tonik-klonik, hilang kesadaran sesaat, hilang kesadaran beberapa lama, bibir berbusa, sering diam beberapa saat bila sedang diajak bicara, gerakan ekstrimitas terkedut bilateral, pasien terjatuh, kontraksi involunter unilateral, kejang biasanya mulai dari tempat yang sama setiap serangan, agresif, pupil mengalami perubahan ukuran selama serangan, inkontinensia, perdarahan dari mulut, penurunan respon terhadap lingkungan, kejang terjadi beberapa detik hingga beberapa menit. Gambaran EEG berupa gelombang spike, spike and slow wave, poly spike and wave, 3 Hz spike and wave. MRI / CT SCAN bisa tampak adanya massa di lobus otak.Perubahan yang bermakna tidak spesifik pada tanda-tanda vital. Dapat terjadi perubahan tidak spesifik pada         hasil laboratorium (Glukosa darah,        BUN, Elektrolit, Pa O2, Pa CO2 termasuk hasil fungsi lumbal).

5.                  Rencana Asuhan Keperawatan
a.        Diagnosa Keperawatan
       Rencana Keperawatan diawali dengan penyusunan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada pasien yang mengalami epilepsi adalah
1)        Potensial kecelakaan s.d. penurunan kesadaran, kelemahan fisik, gerak otot
       tonik klonik.
2)        Potensial terjadi sumbatan jalan nafas s.d. obstruksi tracheo bronkhial,
       gangguan persepsi dan neuro muskuler.
3)        Gangguan konsep diri s.d. stigma sosial, salah persepsi dari lingkungan sosial.
4)        Gangguan mekanisme koping s.d. terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat.
5)        Kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya s.d. kurang
        terbuka, mis interpretasi dan kurang interpretasi.

b.        Rencana Keperawatan
a.  Potensial kecelakaan sehubungandengan penurunan kesadaran,      
    kelemahan  fisik, gerak otot tonik klonik.
b. Potensial terjadi sumbatan jalan nafas sehubungan dengan       obstruksi
    tracheo  bronkhial, gangguan persepsi dan neuro muskuler.
c.    Gangguan konsep diri sehubungan dengan stigma sosial, salah persepsi
    dari lingkungan sosial.
d.   Gangguan mekanisme koping (koping tidak efektif) sehubungan
    dengan terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat.
e.. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit (epilepsi) dan
    pengobatannya  sehubungan dengan  mis interpretasi dan kurang informasi.
6.                  Rencana tindakan
NO
Diagnosa
Tujuan
Implementasi
1.
Dx  1
Serangan dapat dikendalikan dan komplikasi dapat dihindari
1. Cegah dan kendalikan kejang
2. Hindarkan lingkungan agar aman dari kemungkinan yang dapat menimbulkan cedera bagi klien
3. Siapkan spatel lidah di dekat klien
4. Hindarkan klien sendirian
5. Usahakan agar tempat tidur klien
    serendah mungkin
6.   Jangan pernah mengikat klien dengan
Alasan apapun
7.   Jangan memasukkan benda apapun kemulut klien
    saat terjadi serangan
8. Pasang gudel saat serangan berkurang
9. Miringkan klien pada salah satu sisi
10. Obserpasi adanya tanda-tanda status epileptikus
11. Upayakan agar klien mampu mengenali
      faktor  pencetus
      dan tanda-tanda serangan
12. Lakukan tindakan kolaborasi :
a. Pemberian obat anti konvulsan
b.    Siapkan klien untuk EEG, pengambilan bahan lab elektrolit, cairan cerebro spinal, darah lengkap, BUN, Creatinin, Glukosa darah, PO2 dan PCO2.
13. Observasi fase-fase kejang
14. Analisa ambulasi klien

2
Dx. 2
Jalan nafas tetap paten
1.   Anjurkan agar klien mengosongkan mulut jika fase aura dapat dikenali
2.   Buat klien dalam posisi miring pada salah satu sisi untuk menghindari adanya aspirasi
3.      Mengupayakan jalan nafas tetap paten
4.      Memberikan oksigen sesuai dengan indikasi
5.   Lakukan penghisapan lendir dengan cara yang benar
6.      Siapkan klien untuk pemasangan intubasi dan ambu bag.
7.                  Selalu ingatkan untuk menjaga kebersihan mulut
   Untuk mencegah aspirasi

3
Dx. 3 dan 4
Mampu menampilkan konsep diri yang positif
1.Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan
2.Ajarkan klien dan keluarga untuk mengidentifikasi beberapa reaksi orang terhadap pasien
3.                  Anjurkan dan ingatkan untuk mengidentifikasikan                                               keberhasilan yang telah diperoleh
4.                  Jangan terlalu melakukan proteksi terhadap klien
5.Bantulah klien untuk meluruskan kesan orang lain terhadap klien dan kesan klien terhadap orang lain
6.Selalu bersikap tenang baik itu pasien, pemberi pelayanan atau keluarga saat terjadi serangan kejang
7.Anjurkan untuk berkonsultasi dengan spesialis tertentu seperti psikolog
8.Diskusikan pentingnya untuk berusaha menerima keterbatasan yang ada.
9.Mampu menyesuaikan pola hidup sesuai dengan keadaan klien

4
Dx. 5
Mampu menjelaskan mengenai proses peny., prognosa, kemungkinan komplikasi dan keterbatasan diri yang dimiliki dan melaksanakan program pengobatan serta follow up secara tepat dan teratur
1.Menjelaskan kembali proses penyakit serta prognosanya.
2.Menjelaskan kembali tentang pentingnya obat serta mengobservasi efek dari obat tersebut.
3.Buatkan petunjuk yang jelas dalam pemberian obat, dan selalu diingatkan bahwa dosis terapeutik saat ini dapat berubah suatu saat.
4.Diskusikan efek samping dari obat.
5.Anjurkan agar klien membawa tanda khusus.
6.Jelaskan pentingnya follow up.






7.      Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan tindakan yang telah dilakukan. Disamping itu evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pengkajian untuk proses berikutnya.
Pada kasus epilepsi evaluasi dilakukan atas tindakan yang dilakukan sesuai dengan diagnosa dan tujuan yang sudah ditetapkan.
1.      Frekuensi dan faktor pencetus serangan dapat diidentifikasi, lingkungan aman, klien tahu berperilaku untuk mencegah trauma jika muncul serangan, keluarga tidak meninggalkan klien sendiri terutama saat faktor pencetus paparannya meningkat.
2.      Klien dapat mengambil posisi yang stabil, tidak menelan sesuatu, jika fase aura mulai muncul, kebutuhan O2 klien dapat terpenuhi terutama pada saat serangan.
3.      Klien mampu menampakkan kesan diri yang positif, keluarga aktif memberikan dukungan dukungan kepada klien.
4.      Klien mampu menjelaskan tentang penyakit, penanganan, prognose, serta waktu pengobatan. Klien mengerti dan mau melakukan follow up secara teratur. Klien dapat menyesuaikan pola hidupnya sesuai dengan keadaannya
DAFTAR PUSTAKA

Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.

Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Hudac. M. C. R and Gallo B. M, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia.

Kariasa Made, 1997, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.

Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing  Psychology Approach, Fourt Ed, Philadelpia London.

Price S. A and Wilson L. M, 1982, Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease Process, Second Ed, St Louis, New York.

LAPORAN PENDAHULUAN TUBERKOLOSIS PARU



PENGERTIAN :
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang disebabkan oleh Mycobakterium Tuberkulosis.

ETIOLOGI :
Jenis kuman berbentuk batang, ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap kimia , fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigin, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandunagn oksiginnya yaitu. daerah apikal paru, daerah ini yang menjadi prediksi pada penyakit Tuberkulosis

PATOFISIOLOGI :
Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel efektor (makrofag), sedangkan limphosit (sel T) adalah sel imonoresponsifnya. Imunitas ini biasanya melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokin, respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitifitas ( lambat). Basil Tuberkel yang mencapai permukaan alveolus akan diinhalasi sebagai suatu unit (1-3 basil), gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan disaluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Yang berada dialveolus dibagian bawah lobus atas paru basil tuberkel ini membuat peradangan.
Leukosit polimorfonuklear nampak pada tempay tersebut dan mempagosit, namun tidak membunuh basil. Hari-hari berikutnya leukosit diganti oleh makrofag, alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumoni akut. Pneumoni selluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini dapat berjalan terus, dan basil terus dipagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan waktu 10-20 hari). Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju (nekrosis kaseosa) . Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi akan lebih fibroblas membentuk jaringan parut dan ahirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi tuberkel..

TANDA & GEJALA
Keluhan dapat bermacam-macam atau malah tanpa keluhan, yang terbanyak adalah :
1.      Demam : subfebril, febril ( 40-41derajat C) hilang timbul.
2.      Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, batuk ini untuk membuang /mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulenta (menghasilkan sputum)
3.      Sesak nafas : bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
4.      Nyeri dada : ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5.      Malaise : ditemukan beripa anorexia, nafsu makan menurun, BB menurun, sakir kepala, nyeri otot, keringat diwaktu malam hari
Pada Atelektasis terdapat gejala manifestasi klinik yaitu: Sianosis, Sesak nafas, Kolaps. Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong kesisi yang sakit. Pada Foto Torax tampak pada sisi yang sakit bayangan hitam dan diagfragma menonjol keatas.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK:
Pemeriksaan fisik :
·         Pada tahap dini sulit diketahui.
·         Ronchi basah, kasar dan nyaring.
·         Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi suara umforik.
·         Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
·         Bila mengenai Pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara pekak)


Pemeriksaan Radiologi :
·         Pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas.
·         Pada kavitas bayangan berupa cincin.
·         Pada Kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi
Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru karena TB.
Laboratorium :
·         Darah : leukosit meninggi, LED meningkat
·         Sputum : pada kultur ditemukan BTA
·         Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)

PENATALAKSANAAN :
·         Penyuluhan
·         Pencegahan
·         Pemberian obat-obatan :
1.      OAT (obat anti tuberkulosa) :
2.      Bronchodilatator
3.      Expektoran
4.      OBH
5.      Vitamin
·         Fisioterapi dan rehabilitasi
·         Konsultasi secara teratur

ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
a. Pola aktifitas dan istirahat :
Fatique, Aktivitas berat timbul sesak (nafas pendek), Sulit tidur, Berkeringat pada malam hari
b. Pola Nutrisi :
Anorexia, Mual, tidak enak diperut, BB menurun
c. Respirasi :
Batuk produktif (pada tahap lanjut), sesak nafas, Nyeri dada.
d. Riwayat Keluarga :
Biasanya keluarga penderita ada yang mempunyai kesulitan yang sama (penyakit yang sama)
e. Riwayat lingkungan :
Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman padat, ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggauta keluarga yang banyak.
f. Aspek Psikososial :
·         Merasa dikucilkan
·         Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
·         Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
·         Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang bayak.
·         Masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien.
·         Tidak bersemangat, putus harapan.
g. Riwayat Penyakit sebelumnya :
·         Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh sembuh.
·         Pernah berobat, tetapi tidak sembuh.
·         Pernah berobat tetapi tidak teratur (drop out).
DIAGNOSA PERAWATAN YANG MUNGKIN TIMBUL :
1.      Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan adanya faktor resiko :
·         Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis.
·         Kerusakan membran alveolar kapiler.
·         Sekret yang kental
·         Edema Bronchial.
2.      Potensial infeksi dan penyebaran infeksi sehubungan dengan :
·         Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap.
·         Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar.
·         Daya tahan/ resistensi terhadap infeksi rendah
·         Malnutrisi
·         Terkontaminasi oleh lingkungan.
·         Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
3.      Gangguan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan:
Kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dyspnoe, anorexia, penurunan finansial /biaya.
4.      Pembersihan jalan nafas yang tidak efektif sehubungan dengan :
Sekresi yang kental, lengket dan berdarah, lelah dan usaha batuk yang kurang, Edema trachea/larink.
5.      Kurangnya pengetahuan (kebutuhan Hygiene), tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, sehubungan dengan :
Tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, terbatas pengetahuan/kognisi, tidak akurat, tidak lengkap imformasi yang didapat.

Pengobatan:
1. Nama obat : INH
    Dosis           : 1 x 400 mg
     Farmakokinetik:
·         Diabsorbsi : dari saluran pencernaan, makanan mengurangi kecepatan dan tingkat absorbsi
·         Puncak         :   1 - 2 jam
·         Distribusi    :   Keseluruh jaringan tubuh dan cairan termasuk CNS, melewati plasenta
·         Metabolisme  : Tidak diaktifkan oleh acetylation  di  dalam hati
·         Eliminasi  : waktu paruh 1 - 4 jam, 75 - 96% diekresikan dalam urin dalam 24 jam, diekskresikan  dalam air  susu
Efek samping : biasanya dihubungkan dengan dosis
CNS :  parestesias, perifeal neuropaty, nyeri kepala, kelemahan, tinitus, pusing, vertigo, ataxia, somnolen, insomnia, amnesia,euphoria, toxis psikosis, perubahan tingkah laku, depresi, kerusakan memori, hyperpireksia, halusinasi, konvulsi, otot kejang, mimpi yang berlebihan , menstruasi
Mata  : Penglihatan kabur, terganggunya penglihatan, optik neuritis, atropi
GI  : Mual , muntah , epigastrium distress, mulut kering, konstipasi
Hematologi : Agranulositosis, hemolitik atau anemia aplastik, trombositopenia, eosinophilia, methemoglobinemia
Hepatotoksisitas: panas dingin, kulit yang melepuh (mosbiliform, macula papular, purpura, urticaria) limpadenitis, vaskulitis
Metabolik endokrin : Penurunan absorbsi vitamin B12, defisiensi  pridoksin  (vitamin B6), pellagra, gynecomastia, hyperglikemia, glikosuria, hyperkalemia, hipophosphathemia, hipokalsemia, acetonia, asidosis metabolik, proteinemia
Lain-lain : dyspnea, retensi urine, demam yangdisebabkan obat-obat, rematik, lupus erythromatosus syndrome, iritasi di tempat  bekas injeksi.
Implikasi perawatan :
Pengelolaan :
·         Obat oral INH lebih baik diberikan sebelum makan 1 - 2 jam sebelum makanan diabsorbsi, jika terjadi iritasi  GI, obat  boleh diberikan bersama makanan
·         Isoniazid dalam  bentuk larutan disimpan dalam bentuk kristal dan disimpan dalam temperatur yang rendah. Jika hal ini terjadi obat disimpan ditempat  yang hangat atau dalam  temperatur ruangan.
·         Nyeri  lokal  sementara setelah injeksi IM, massage daerah injeksi dengan cara memutar daerah injeksi 
·         Obat disimpan harus ditutup rapat, temperatur 15 - 30  C kecuali diberikan secara sebaliknya
Pengkajian /efek obat :
·         Tes adanya kelemahan yang tepat, sebelum pemberian therapy untuk  mendeteksi kemungkinan bakteri yang resisten
·         Efek therapetik biasanya menjadi jelas dalam 2 - 3 minggu pertama pemberian therapi. Lebih dari 90% pasien yang diberikan therapi mempunyai  sputum yang  berkurang setelah  6 bulan
·         Pemeriksaan mata
·         Monitor Tekanan darah selama pemberian obat
·         Pasien seharusnya secara hati-hati  dengan interview dan diperiksa dalam interval bulanan  untuk mendeteksi dini dari tanda dan gejala hepatotoksisitas
·         Therapi INH yang kontinyu setelah onset dari disfungsi hepatik meningkatkan resiko kerusakan hati yang lebih berat
·         Isoniazid hepatitis (kadang-kadang  fatal) biasanya berkembang selama 3 - 6 bulan pertama, tetapi mungkin terjadi setiap waktu selama pemberian therapi, hal ini lebih banyak frekwensinya pada pasien dengan umur 35 tahun atau lebih atau terutama yang meminum alkohol setiap hari
·         Cek berat badan 2 kali seminggu, di bawah kondisi standart
·         Pasien DM seharusnya diabsorbsi untuk hilangnya kontrol diabetes antara glikosuria yang nyata dan tes benedik positif; yang palsu segera dilaporkan
·         Neuritis peripheral lebih banyak menimbulkan afek toksik seringkali  didahului oleh parestesikaki dan tangan. Pasien yang bebas kerentanan meliputi (termasuk) alkoholik atau pasien denga penyakit liver, malnutrisi, diabetik, inaktivator lambat, wanita hamil dan kekuatan.
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dan pasien
·         Memeperingatkan  pasien  terhadap makanan yang mengandung tyramine (keju, ikan) yang menjadi penyebab dari palpitasi, peningktan tekanan darah.
·         Instruksi pasien  untuk  melapor kepada medis bila ada tanda dan gejala dari perkembangan hepatotoksik
·         Memperingatkan pasien terhadap makanan yang mengandung histamin (ikan tuna) yang bisa menjadi penyebab  dari palpitasi memperbesar respon obat (nyeri kepala, hipotensi,palpitasi,berkeringat, diare)
·         Umumnya therapi INH  diberikan 6 bulan - 2 tahun untuk pengobatan TBC yang aktif, bila digunakan untuk terapi preventif, INH diberikan 12 bulan.
2. Nama obat : Ethambutol hydrochloride
Dosis: Dewasa 15 mg/kgBB (oral), untuk pengobatan ulang mulai dengan 25 mg kg/BB/hari atau 60 hari, kemudian diturunkan sampai 15 mg/kgBB/hr
Anak: : 6 - 12 tahun: 10 - 15 mg/kgBB/hari
Farmakokinetik:
·         Absorbsi : 70% - 80% diabsorbsi di saluran pencernaan
·         Puncak 2 - 4 jam
·         Distribusi: diodistribusi ke seluruh jaringan tubuh, konsentrasi tertinggi dalam eritrosit, ginjal, paru-paru, saliva, melalui plasenta, didistribusi kedalam air susu.
·         Metabolisme: dimetabolisme dalam hati
Eliminasi : waktu paruh 3 - 4 jam, 50% diekresikan dalam urin selama 24 jam, 20 - 22 %  dikeluarkan dalam feses
Efek samping :
·         CNS : Nyeri kepala , pening/pusing, kebingungan, halusinasi, parestesia, neuritis peripheral, nyeri tulang sendi, kelemahan pada ekstremitas bagian bawah
·         Mata : Toksisitas bola mata : neuritis retrabulbar optik, kemungkinan neuritis anterior optik dengan penurunan dalam ketajaman penglihatan, menyempitnya luas lapang pandang, kebutaan pada warna merah-hijau, skotoma pada bagian pusat dan periferal, mata nyeri, fotophobia, perdarahan dan edema retina.
·         Saluran pencernaan : anoreksia, mual, muntah, nyeri  abdomen
·         Hypersensitifitas :  pruritis , dermatitis, anafilaktis
·         Hyperuresemia, demam , malaise, leukopenia (jarang), sputum yang mengandung darah, gangguan sementara dalam fungsi liver (kemungkinan hepatotoksisitas), nefrotoksisitas, gout artritis akut, abnormalitas EKG, pengeluaran keringat
Implikasi Perawatan
·         Ethambutol mungkin diberikan  setelah makan jika iritasi saluran pencernaan terjadi. Absorpsi tidak begitu dipengaruhi oleh makanan dalam perut.
·         Lindungi ethambutol dari cahaya, kelembaman dan panas. Letakan dalam kemasan yang  tertutup rapat-rapat pada suhu 15 - 30 C kecuali kalau diberikan langsung .
Pengkajian  dan  efek obat
·         Kultur dan tes kerentanan seharusnya seharusnya ditentukan sebelum dimulainya tindakan/dan pengulangan secara periodik pada terapi secara keseluruhan .
·         Toksisitas okuli secara umum kelihatan dalam 1 - 7 bulan setelah dimulainya tyerapi. Gejala biasanya tidak tampak selama beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah obat tidak dilanjutkan
·         Uji opthalmoskopik meliputi tes luas lapang pandang , tes untuk ketajaman penglihatan menggunakan kertas mata, dan tes untuk penggolongan diskriminasi warna seharusnya ditentukan lebih dulu untuk memulai therapi dan dalam interval bulanan selama therapi. Mata seharusnya dites secara terpisah sama baiknya secara bersama-sama
·         Monitor rasio input dan output pada pasien dengan kerusakan ginjal . Laporkan adanya oliguria atau  perubahan yang penting pada ratio atau dalam laporan laboratorium tentang fungsi ginjal. Akumulasi sistemik dengan toksisitas dapat dihasilkan dari  ekresi obat-obat yang lambat
·         Tes fungsi ginjal dan hepatik, hitung sel darah dan determinan serum asam urat seharusnya ditentukan dalam interval yang teratur pada terapi secara menyeluruh.

a.         Pendidikan pasien dan keluarga

·         Secara umum, therapi dapat berlanjut selama 1-2 terapi lebih lama, meskipun teraturnya pengobatan yang lebih pendek bisa digunakan dengan baik
·         Jika pasien hamil, selama pengobatan sarankan untuk melaporkan pada dokter dengan segera . Obat seharusnya tersendiri.
·         Sarankan pasien untuk melaporkan  dengan tepat pada dokter tentang kejadian mengaburnya pandangan , perubahan persepsi warna, mengecilnya luas lapang pandang , beberapa gejala penglihatan lainnya. Pasien seharusnya secara periodik ditanyakan tentang matanya
·         Jika dideteksi secara dini, defek visual secara umum tidak kelihatan lebih dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada beberapa instansi (jarang), pemulihan mungkin lambat. Selama setahun atau lebih atau defek mungkin irreversibel.
3. Nama obat : Rifampisin
·         Dosis :   1 x 450 mg
Farmakokinetik:
·         Absorbsi:  Dengan  mudah diabsorbsi di saluran pencernaan
·         Puncak: 2 - 4 jam
·         Distribusi : didistribusikan kemana-mana meliputi CSF, melalui plasenta, didistribusikan ke dalam air susu
·         Metabolisme: Dimetabolisme dalam liver untuk metabolisme aktif dan inaktif siklus enterohepatik
Eliminasi : Waktu paruh 3 jam. Sampai 30 % diekresikan dalam urin 60% - 65% dalam feses
Efek  samping :
·         CNS: fatigue, drowsiness, nyeri kepala, ataxia, kebingungan, pusing, ketidak mampuan berkonsentrasi, mati rasa secara umum, nyeri  pada ekstremitas, kelemahan otot, gangguan penglihatan , konjungtivitis, hilangnya pendengaran frekuensi rendah, secara sementara.
·         GI : heart burn, distress epigastrium, mual, muntah, anoreksia, flaturens, kram, diare, kolitis pseudomembran
Hematologi : Trombositopenia, leukopeni sementara, anemia, meliputi (termasuk) anemia hemolitik
Hypersensitivitas : panas, pruritis, urtikaria, erupsi kulit, rasa sakit pada mulut dan lidah, eosinophilia, hemolisis
Ginjal : hemoglobinuria, hematuria, Akut Renal Failure
Lain-lain:  hemoptisis, light-chain proteinuria, sindrom “flulike”, gangguan menstruasi, sindroma hepatorenal (dengan terapi intermitten). Peningkatan sementara pada tes fungsi hati (bilirubin, BSP, alkaline fosfatase,ALT,AST), pankreatitis
Overdosis: Gejala GI, meningkatnya lethargi, pembesaran liver  dan pengerasan, jaundice, berkeringat, saliva, air mata, feces
Implikasi Perawatan
·         Kapsul bisa dibuka diisi dan diminum/diteguk dengan air atau dicampur dengan makanan
·         Suspensi oral dapat disiapkan dari kapsul untuk digunakan pada pasien pediatri
·         Berikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan. Puncak dari tingkat serum  diperlambat dan mungkin agak rendah ketika diberikan dengan makanan
·         Pengawetan seharusnya dijaga dalam kapsul yang dikemas dalam botol , dapat menjadi tidak stabil dalam keadaan lembab
Pengkajian dan efek obat
·         Tes serologi dan kerentanan seharusnya ditentukan paling utama selama dan  dalam keadaan / waktu kultur positif
·         Disarankan tes fungsi hepatik secara periodik . Pasien dengan penyakit hepar harus dimonitor secara tertutup (closely)
·         Jika pasien  juga mendapat anti koagulan , waktu protrombin seharusnya ditentukan secara harian atau seringkali untuk membuat dan menjaga aktifitas antikoagulan
Pendidikan kepada pasien dan keluarga
·         Informasikan kepada pasien bahwa obat bisa memberi warna pada urin merah -oranye, feces, sputum, keringat dan air mata. Terutama yang menggunakan kontak lensa atau kaca berwarna lainnya yang permanen
·         Pasien dengan kontrasepsi oral, seharusnya mempertimbangkan alternatif metode-metode kontrasepsi. Hal-hal yang sama menggunakan Rimfapisin dan kontrasepsi  oral menurunkan  keefektifan dari kontrasepsi dan untuk gangguan  menstruasi (spotting, perdarahan)
·         Perhatikan pasien agar menjaga obat dari jangkauan anak-anak
4.  Nama obat : Pyrazinamide
       Dosis : 2 x 500 mg
Farmakokinetik :
·         Absorbsi  : Langsung diabsorpsi dari saluran pencernaan
·         Puncak : 2 jam
·         Distribusi : Melewati barier darah otak
·         Metabolisme : di metabolisme di hati
·         Eliminasi : waktu paruh 9 - 10 jam, diekresikan secara perlahan-lahan di dalam urin
Efek samping :
Astralgia, aktif gout, kesulitan dalam kencing, nyeri kepala, fotosensitif, urtikaria, skin rash (jarang), anemia hemolitik, splenomegali, limphadenopathy, hemoptisis, peptik ulser, uric asid dalam serum, hepatotoksik, tes fungsi ginjal yang abnormal, penurunan plasma protrombin.
Implikasi perawatan
·         Obat seharusnya tidak dilanjutkan jika ada reaksi hepar (jaundice,pruritis, sklera ikterik, yellow skin) atau hyperursemia dan akut gout
·         Tempatkan dalam tempat tertutup (suhu 15  - 13 C)
Efek obat
·         Pasien harus diobservasi dan mendapat petunjuk dari supervisi medis
·         Pasien harus diperiksa secara teratur , dan kemungkinan adanya tanda toksik: pembesaran hepar, jaundice, kerusakan integritas vaskuler (echymosis, ptekie, perdarahan abnormal)
·         Reaksi hepar lebih sering terjadi pada pasien yang diberikan dosis tinggi
·         Tes fungsi liver (AST, ALT, serum bilirubin) harus diperiksa 2-4 minggu selama terapi
Pendidikan kesehatan kepada pasien dalam keluarga
·         Laporkan adanya kesulitan dalam pengosongan
·         Pasien  seharusnya berkeinginan untuk intake cairan 2000 ml/hari jika memungkinkan
·         Pasien dengan diabetes melitus seharusnya terbuka untuk memonitor dan meminta saran terhadap kemungkinan kehilangan kontrol glikemia
5.  Nama obat : Aldactone
      Dosis : 2 x 100 mg
      Farmakokinetik :
·         Absorbsi : 73% disaluran pencernaan, onset : perlahan-lahan.
·         Puncak : 2-3 hari , max. efeknya 2 minggu.
·         Durasi : 2-3 hari atau lebih.
·         Distribusi : melalui placenta, didistribusikan melalui air susu.
·         Metabolisme : di hati dan di ginjal.
·         Eliminasi :  Waktu paruh : 1,3 - 2,4 Jam parent kompound, 18 - 32 jam dimetabolisme, 40 - 57% di ekskresikan  didalam urin , 35 - 40% di dalam empedu.
   Efek samping :
·         Letargi, Fatique(penurunan BB yang cepat), nyeri kepala dan  ataksia.
·         Endokrin :  genekomastik, ketidakmampuan  untuk mempertahankan  ereksi , efek endogenik (ketidakteraturan mens, hersutisme, suara dalam) , berubahnya para tyroid, menurunnya glukosetoleransi .
·         GI : Kram abdominal, nausea, muntah, anoreksia, diare.
·         Kulit : Makulopapular, erythematosus rash, urtikaria.
·         Lain-lain: Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremia), peningkatan BUN, asidosis, agranulasitosis, SLE, hipertensi(post sympatectomi) , hiperurecemia, Gout.
Implikasi perawatan :
   Pengelolaan :
·         Berikan dengan makanan untuk mempertinggi absorbsi makanan.
·         Haluskan tablet sebelum diberikan dengan cairan yang dipilih oleh pasien.
·         Obat disimpan dalam tempat tertutup, dalam kemasan tahan cahaya, dalam bentuk suspensi lebih tahan dalam waktu I bulan dibawah refrigeration.

   Pengkajian dan efek otot :
·         Cek tekanan darah sebelum diberikan terapi.
·         Serum elektrolit harus dimonitor, terutama selama permulaan terapi dan siapkan bila ada tanda-tanda ketidak seimbangan elektrolit.
·         Monitor intake dan output setiap hari dan cek adanya edema, laporkan kekurangan respon diuretik atau perkembangan odem.
·         Laporkan bila ada efek perubahan  mental, letargi, stupor pada pasien dengan penyakit hati.
·         Reaksi yang merugikan, terjadi reversibel yang umum dengan tidak dilanjutkan obat. Ginekomastik yang dihubungkan dengan dosis dan durasi terapi. Ini semua dilakukan walaupun obat telah dihentikan.

   Pendidikan pasien dan keluarga :
·         Informasikan pada pasien dan keluarga  efek obat deuretik yang maksimal mungkin tidak terjadi sampai 3 hari pemberian terapi. Dan deuretik kontinue untuk 2-3 hari setelah obat dihentikan.
·         Intruksikan pasien untuk melaporkan tanda dari hiponatremi, yang lebih sering terjadi pada pasien dengan serosis berat.
·         Umumnya pasien harus menghindarkan intake yang belebihan dari makanan yang tinggi potasium dan garam.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987.
2.      Donna D, Marilyn. V, Medical Sugical Nursing, WB Sounders, Philadelpia 1991.
3.      Doenges E Marilynn, F.A Davis Company Philadelphia Edition 3 , 1989
4.      RSUD Dr. Soetomo,  Pedoman Diagnosis dan Therapi, Lab UPF Ilmu Penyakit Paru, Surabaya (1994)